Semarang – Patroli Berita Indonesia
Asisten Kapolri bidang Sumber Daya Manusia (As SDM), Irjen. Pol. Dedi Prasetyo, mengupas soal transformasi penegakan hukum di era Polri Presisi. Dikatakan, transformasi ini dilakukan dengan pendekatan keadilan restoratif atau restorative justice.
Menurutnya, tiga poin transformasi operasional dan penegakan hukum yang terdiri dari transformasi organisasi, Polsek menjadi basis resolusi dan modifikasi KPI kinerja polisi.
“Transformasi organisasi merupakan 1 dari 4 program transformasi menuju Polri yang Presisi, dengan tujuan untuk menjadi lebih baik. Aliran positivisme ke aliran progresif untuk lebih memenuhi rasa keadilan masyarakat,” ungkap AS SDM saat menjadi narasumber bedah buku Keadilan Restoratif : Strategi Transformasi menuju Polri Presisi di Universitas Islam Sultan Agung (Unissula), Semarang, Jawa Tengah (Jateng), Senin (17/7/23).
Lebih lanjut ia menjelaskan, dalam transformasi, Polsek akan menjadi basis resolusi dan merealisasikan Bhabinkamtibmas sebagai pusat informasi dan problem solver. Key Performance Indikator (KPI) kinerja Polri tidak hanya fokus pidana, tetapi juga restorative justice.
Mantan Kadiv Humas Polri ini lalu menerangkan, restorative justice berorientasi pada pemulihan menyeluruh. Hadirnya penyelesaian masalah hukum dengan restorative justice menjawab untuk ketidakpuasan dan rasa frustrasi terhadap hukum pidana formal.
“Bentuk paling sederhananya, reparasi. Menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung dari pihak terkait. Ini sejalan dengan Paradigma Hukum Modern yaitu keadilan korektif, keadilan restoratif, keadilan rehabilitatif,” ungkap As SDM.
Ia lalu menerangkan, terdapat empat indikator dalam penyelesaian pelanggaran hukum dengan pendekatan restorarive justice, yakni pelaku, korban, masyarakat dan aparat hukum.
“Model penyelesaian dengan pendekatan keadilan restoratif merupakan suatu proses di luar peradilan formal yang dijalankan dengan memperhitungkan pengaruh yang lebih luas terhadap korban, pelaku, dan masyarakat itu sendiri,” ujar As SDM.
Dalam penyelesaian dengan restorative justice, ujar As SDM, pelaku bertanggung jawab memulihkan kerugian yang dialami korban akibat tindakan pelaku. Ia menjelaskan, korban dalam hal restorative justice, menjalani mediasi dan menentukan sanksi untuk pelaku.
“Masyarakat sebagai mediator, juga berperan menyediakan kesempatan bagi pelaku. Sementara aparat penegak hukum memfasilitasi mediasi,” jelas As SDM.
Mantan Kapolda Kalimantan Tengah (Kalteng) ini menuturkan penghentian kasus dengan restorative justice di Polri, dalam kurun waktu 1 Januari 2021 hingga 14 Februari 2022, mencapai 15.787 kasus. Meski demikian, ia mengakui masih adanya kendala dalam penerapan restorative justice.
“Kendala dalam implementasi, di sisi pendekatan sektoral belum berorientasi pada restorasi korban, di mana penyelesaian perkara hukum masih berorientasi pada konsep pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana,” ungkapnya.
Oleh sebab itu, restorative justice masih harus dirumuskan secara komprehensif, mulai dari substansi, struktur, dan kultur hukum dalam suatu program kerja sistem peradilan pidana, yang melibatkan semua unsur criminal justice system. Kemudian, kendala di masyarakat dipandang masih menganut konsep balas dendam, di mana publik beranggapan pelaku pidana harus dihukum seberat-beratnya melalui pemenjaraan.
“Padahal pada kenyataannya, sebagian narapidana yang usai menjalani hukuman tak mendapatkan pelajaran seperti yang diinginkan dalam konsep pemenjaraan,” jelas As SDM.
Irjen. Pol. Dedi berpendapat, perlu adanya perubahan paradigma terkait penegakan hukum di masyarakat. Namun, penerapan pendekatan keadilan restoratif membutuhkan prasyarat berupa perubahan paradigma masyarakat, yang pada gilirannya diharapkan akan mengubah paradigma penegak hukum.
Selain itu, ia menyampaikan restorative justice dapat membantu menyelesaikan masalah, salah satunya mengurangi jumlah kasus yang menumpuk. As SDM menekankan soal restorative justice telah diatur dalam Surat Edaran Kapolri Nomor 8 Tahun 2018, dan disempurnakan dalam Perpol Nomor 8 Tahun 2021.
“Pendekatan keadilan restoratif sangat tepat diimplementasikan di Indonesia, karena nilai lebihnya berasal dari filosofi yang mengeratkan hubungan antara manusia dengan manusia lain, hubungan dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan alam,” jelasnya.